Sore yang kelabu, tak ada senja yang
mengguratkan jingga di balik bukit. Awan-awan gelap berarak-arak ditiup angin.
Tampaknya bebannya sudah begitu berat, hingga akhirnya ia turunkan beban itu
lewat tetes-tetes air yang mulai menyentuh dedaunan jati berwarna hijau tua.
Rintiknya begitu riuh meningkahi atap-atap dari tanah liat, mulanya pelan
kemudian mulai deras membuat basah apa-apa yang dilewatinya.
Kutatap hujan dari balik jendela
yang sedikit terbuka, dapat kurasakan dinginnya air yang jatuh ke tanah itu.
Dingin sekaligus melegakan, setelah berbulan-bulan lamanya akhirnya hujan tiba.
Airnya telah dinanti para petani untuk mengairi sawahnya yang mengering.
Aku pun juga rindu hujan,rindu pada
bau tanah basah. Seperti rinduku pada seseorang yang tak kunjung datang.
Alangkah lamanya… dan aku sudah begitu lelah..
Tapi hendak dibawa kemana rasa ini,
bila tak berlabuh di dermaganya sendiri? Aku tak mau singgah di dermaga yang
belum jadi milikku, karena itu hanya akan membuatku kian rapuh.
Kutengadahkan kepala,menatap langit
yang mencurahkan tetes-tetes air kian deras. Rasa dingin mulai merayapi
wajahku. Kurapatkan jilbab yang membalut kepala dan tubuhku,membuatku merasa
sedikit hangat.
“Hmm,dimanapun engkau berada, aku tahu pasti akan
tiba masanya bagiku bertemu denganmu, bukan hanya untuk sekedar membagi rinduku
pada hujan,tapi bersama, kita akan merindukan hujan dimana waktu itu kita berdua
berceloteh riang di bawah rintiknya”